Jika membahas mengenai ilmu psikologi, gak lepas dari yang namanya teori. Nah, sekarang kita akan lihat teori-teori yang mendasari psikologi lingkungan.
Teori Arousal (Arousal Theory)
Mandler (dalam Hardy dan Hayes, 1995) menjelaskan bahwa emosi terjadi pada saat sesuatu yang tidak diharapkan atau pada saat kita mendapat rintangan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Mandler menamakan teorinya sebagai teori interupsi. Interupsi pada masalah seperti dikemukakan tadi menyebabkan kebangkitan (arousal) dan menimbulkan pengalaman emosional. Suatu hal yang kita dapat petik dari teori ini adalah bahwa orang dapat memperlihatkan perubahan emosi secara ekstrim, misalnya bergembira atau bergairah pada suatu saat, dan mengalami perasaan dukacita atau amarah pada saat yang lain.
Arousal dipengaruhi oleh tingkat umum dari rangsangan yang mengelilingi kita. Kita dapat saja menjadi bosan atau tertidur, jika yang kita hadapi adalah hal-hal yang tidak ada apa-apanya. Suatu materi pelajaran yang tidak menarik dan sedikit sekali memberi manfaat pada yang mendengarkan membuat hampir semua yang mendengarkannya tidak bertahan lama mengikutinya. Menurut Mandler manusia memiliki motivasi untuk mencapai apa yang disebut sebagai dorongan keinginan otonomik. Fungsinya adalah untuk menarik munculnya arousal sehingga kita dapat berubah-ubah dari aktivitas satu ke aktivias lainnya. Hampir semua orang yang memiliki motivasi ini dalam berinteraksi sehari-hari namun ada beberapa orang yang tidak reponsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi disekelilingnya, sehingga hanya dapat dimunculkan arousalnya jika benar-benar dalam keadaan yang amat membahayakan.
Dalam psikologi lingkungan hubungan antara arousal dengan kinerja seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut: tingkat arousal yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah dan makin tinggi tingkat arousalnya akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula (Sarwono, 1992).
2. Teori Beban Stimulus (Stimulus Load Theory)
Titik sentral dari teori beban stimulus adalah adanya dugaan bahwa manusia memiliki kapasitas yang terbatas dalam memproses informasi. Ketika input (masukan) melebihi kapasitas maka orang akan cenderung untuk mengabaikan beberapa masukan dan mencurahkan perhatian lebih banyak kepada hal yang lain (Cohen dalam Veitch & Arkkelin, 1995). Teori ini bertanggung jawab terhadap respon-respon lingkungan dalam kaitannya dengan kapasitas individu dalam jangka pendek untuk memperhatikan dan bertransaksi dengan hal-hal yang menonjol dalam suatu lingkungan. Umumnya stimulus tertentu yang paling penting diperhatikan dengan alokasi waktu yang banyak dan stimulus yang kurang penting umumnya diabaikan (Sarwono, 1992; Veitch & Arkkelin, 1995). Contoh lain dikemukakan oleh Veitch & Arkkelin (1995) adalah ketika kita mengemudikan mobil dalam keadaan macet, umumnya perhatian kita lebih tertuju pada mobil, truk, bis, atau tanda lalu-lintas di sekeliling. Sementara itu kita justru tidak memperhatikan anak-anak yang duduk di jok belakang, music dari radio, atau kondisi udara yang berawan. Menurut Veitch & Arkkelin (1995) teori beban stimulus juga mempelajari pengaruh stimulus lingkungan yang menguntungkan seperti perilaku-perilaku tertentu yang terjadi di kapal selam atau penjara. Pengkajian seperti ini menyimpulkan bahwa dalam keadaan yang understimulation tertentu ternyata dapat berbalik menjadi overstimulation. Sebagai contoh suatu demam yang dialami seorang pilot pesawat terbang dapat juga dihasilkan dari kondisi yang monoton akan berakibat terjadinya inderstimulation.
3. Teori Kendala Perilaku (Behavoral Constrain Theory)
Teori kendala perilaku memfokuskan kepada kenyataan atau perasaan, kesan yang terbatas dari individu oleh lingkungan. Menurut teori ini lingkungan dapat mencegah, mencampuri, atau membatasi perilaku penghuni (Stokols dalam Veitch & Arkkelin, 1995), misalnya: pada suatu hari kemacetan lalu-lintas akan mengganggu komunikasi, tata cara rumah sakit yang terlalu mengatur akan mengganggu proses penyembuhan, tingginya temperature yang berlebihan akan mencegah kerja fisik yang berlebihan, dan rendahnya suhu yang berlebihan akan mengurangi kepekaan gerakan jari-jari. Teori ini berkeyakinan bahwa dalam suatu situasi tertentu seseorang benar-benar kehilangan beberapa tingkatan kendali terhadap lingkungannya.
Brehm dan Brehm (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) menekankan bahwa ketika kita merasakan bahwa kita sedang kehilangan control atau kendali terhadap lingkungan, kita mula-mula akan merasakan tidak nyaman dan kemudian mencoba untuk menekankan lagi fungsi kendali kita. Fenomena ini lalu disebut dengan istilah reaktansi psikologis. Sarwono memberikan contoh misalnya kita sudah tau bahwa jalanan terlalu macet pada jam-jam tertentu, maka kita cenderung berusaha mencari alternative jalan lain. Jikalau pilihan alternative tidak ada, atau tingkah laku alternative lain yang dicoba untuk dilakukan ternyata juga gagal untuk mengatasinya dan apabila hal ini terjadi berulangkali maka kita akan mengalami perasaan putus asa atau tidak berdaya. Ketidakberdayaan inilah yang disebut learned helplessness.
4 Teori Tingkat Adaptasi
Teori ini mirip dengan teori stimulus berlebih dimana pada tingkat tertentu suatu stimulus dapat dirimuskan untuk mengoptimalkan perilaku. Stimulus yang berlebih atau sama halnya yang terlalu kecil dianggap dapat mempengaruhi hilangnya emosi dan tingkah laku. Nilai lain dari pendekatan ini adalah araousal dimana pada akhirnya individu terbiasa denagn lingkungannya atau tingkat pengharapan individu pada kondisi lingkungan tertentu. Bahkan dengan pendekatan ini dapat diterangkan perbedaan respon yang berbeda dari dua individu ketika menghadapi lingkungan yang sama. Sebagai contoh dalam suatu pesta seseorang dapat mempersepsikannya sebagai suatu yang menyenangkan atau bagi orang lain justru merupakan sesuatu yang tidak nyaman.Perbedaan individi dalam hal tingkat adaptasi menyebabkan adanya perbedaan tingkah laku (Veitch & Arkkelin, 1995).
Menurut Sarwono (1992) terdapat tiga kategori stimulus yang dijadikan acuan dalam hubungan lingkungan dengan tingkah laku yaitu : Stimulus fisik yang merangsang indra (suara, cahaya, suhu, udara) Stimulus social dan gerakan. Dari ketiga stimulus tersebut masing-masing mengandung tiga dimensi lagi yaitu: intensitas, diversitas, dan pola dimana dari ketiga dimensi ini yang paling menyenangkan adalah yang tidak terlalu kecil/sedikit/lemah dan juga tidak terlalu besar/banyak/kuat. Dalam hal intensitas misalnya suara yang tidak terlalu keras lebih menyenangkan dari pada yang terlalu keras atau terlalu lemah. Dalam hal diversitas (variasi rangsang) terlalu banyak atau sedikitnya rangsang ternyata juga tidak menyenangkan. Dalam hal pola barangkali rangsang untuk mengukur hubungan diantara kepadatan dan perilaku interpersonal tidak selalu membuahkan hasil yang sama jika data dikumpulkan dengan metode yang berbeda.
5.
Teori Stress Lingkungan
Teori ini menekankan pada mediasi peran-peran fisiologis, emosi, dan kognisi dalam interaksi antara manusia denagn lingkungannya. Pada dasarnya hal ini dapat dilihat berkaitan dengan pengindraan manusia dimana suatu respons stress yang terjadi terhadap segi-segi lingkungan melebihi tingkat yang optimal. Individu lalu meresponnya denagn berbagai cara untuk mengurangi stress. Beberapa bagian dari respon terhadap stress bersifat otomatis. Pada mulanya terdapat adanya reaksi waspada (alarm reaction) terhadap stressor. Lalu diikuti dengan reaksi penolakan individu yang secara aktif mencoba melakukan coping terhadap stressor. Akhirnya jika sumber-sumber coping yang ada habis maka suatu bentuk kelelahan akan terjadi. Reaksi waspada dapat berupa peningkatan denyut jantung atau peningkatan produksi adrenalin, sementara reaksi penolakan dapat berupa tubuh menggigil kedinginan atau berkeringat kepanasan (Sarwono, 1992). Di lain pihak terdapat ahli lain yang lebih memperhatikan terutama pada masalah respon-respon terhadap stress. Lazarus (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) misalnya lebih memfokuskan kepada proses appraisal. Menurutnya seseorang dalam menilai lingkungan seharusnya dilakukan secara kognitif sebagai suatu bentuk ancaman sebelum terjadinya stress dan akhirnya mempengaruhi perilaku. Sebagai suatu bentuk coping ketika individu akan bereaksi terhadap stressor, individu harus menentukan terlebih dahulu strategi berupa menghindar, menyerang secara fisik atau verbal, atau mencari kompromi (Sarwono, 1992).
6. Teori Ekologi
Menurut Roger Barker (dalam Sarwono, 1992) tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh lingkungan atau sebaliknya, melainkan kedua hal tersebut saling menentukan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam istilah Barker, hubungan tingkah laku dengan lingkungan adalah seperti jalan dua arah atau interpendensi ekologi. Selanjutnya Barker mempelajari hubungan timbal balik antara lingkungan denagn tingkah laku. Suatu hal yang unik pada teori Barker adalah adanya setting perilaku yang dipandang sebagai factor tersendiri.Setting perilaku adalah pola tingkah laku kelompok yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu. Misalnya jika suatu ruangan terdapat pintu, beberapa jendela, serta dilengkapi denagn papan tulis dan meja tulis yang berhadapan dengan sejumlah bangku yang berderet, maka setting perilaku yang terjadi pada ruang tersebut adalah rangkaian dari tingkah laku murid yang sedang belajar diruang kelas. Jika ruang tersebut berisikan perabotan kantor maka orang-orang yang berada didalamnya akan berperilaku sebagaimana lazimnya karyawan kantor.
B. Metode Penelitian Psikologi Lingkungan
Dalam ilmu psikologi lingkungan, penelitian-penelitian untuk mengembangkan disiplin ilmu ini juga ada beberapa metode yang biasa digunakan.
1. Eksperimen Laboratorium
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasa diambil. Metode ini memberi kebebasan pada eksperimenter untuk memanipulasi secara sistematis variable yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variable-variable yang menggangu. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Denagn cara ini maka hasil pengumpulan data adalah benar-banar variable yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini juga pada umumnya melibatkan pemilihan subjek secara random dalam kondisi eksperimen. Walaupun penelitian laboratorium meningkatkan kepercayaan bahwa hasil pengamatan adalah manipulasi dari variable bebas, seorang peneliti masih memiliki hal yang bersifat skeptic mengenai hubungan-hubungan dalam eksperimen tersebut. Eksperimenter tidak dapat memastikan bahwa hasil-hasil penelitian yang dihasilkan dalam situasi yang amat kompleks dapat diterapkan di luar laboratorium.
2. Studi Korelasi
Jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode korelasi. Studi-studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan diantara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalam studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal-hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai. Adalah hal yang tidak mungkin untuk menggambarkan kesimpulan yang jelas menjadi penyebab, karena studi korelasi amat lemah dalam validitas internal. Belum jelas apakah asosiasi yang terjadi dari pembatas-pembatas yang dibuat oleh peneliti sebelumnya. Untuk mudahnya maka dapat dibandingkan bahwa eksperimen laboratorium meminimalkan validitas internal untuk menggelakkan validitas eksternal, sedangkan studi korelasi meminimalkan validitas eksternal tapi seringkali validitas internalnya lemah.
3. Eksperimen Lapangan
Ketika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dapat dicapai melalui eksperimen laboratorium denagn validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini si peneliti secara sistematis memanipulasi beberapa factor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variable eksternal dalam suatu setting tertentu. Hal-hal yang dapat dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode lorelasi ditemukan. Oleh karena itu para peneliti menmgembangkan control terhadap variable, manjaga validitas eksternal pada tingkat tertentu, dan mencoba menemukan percobaan yang lebih realistis guna mendukung suatu penelitian yang baik. Sebagai contoh, seoarang peneliti dapat memanipulasi termperatur di dalam kereta api bawah tanah pada tingkat kepadatan penumpang tertentu untuk mengungkap kemungkinan adanya pengaruh dari variable-variable tersebut terhadap perilaku penumpang berupa memungut kertas yang secara tiba-tiba dengan sengaja yang dijatuhkan oleh eksperimenter.
Sumber Referensi:
Marcella, J.L. 2004. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT. Grasindo.
Sarwono, S.W. 2001. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.