Selasa, 29 Maret 2011

Teritorial

Pengertian Teritorialitas

Holahan (dalam Iskandar, 1990, mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
  
Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu :
·                     kepemilikan atau hak dari suatu tempat
·                     personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
·                     hak untuk mempertahankan diri dari ganggun luar
·                     pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika


Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu :

Teritorial primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusu bagipemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadapaspek psikologis pemiliknya. Contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya: Ruang kerja dan ruang tidur.


Teritori sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakanoleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Contoh: toilet dan kantor.

Teritorial umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Tritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh: Ruang kuliah, bangku bus dan kereta.


Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Teritorialitas pada setiap negara berbeda-beda tergantung dari budaya yang dimiliki oleh negara tersebut. Jenis kelamin juga mempengaruhi teritorialitas seeorang, dimana wanita memerlukan ruang yang lebih kecil dibandingkan pria. Lalu penduduk desa lebih tinggi toleransinya dalam menentukan teritorialitasnya dibandingkan dengan penduduk yang tinggal diperkotaan.




Sumber :

Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998.
 e-learning.gunadarma.ac.id
bukan arsitek biasa. http://file.upi.edu

Selasa, 22 Maret 2011

RUANG PERSONAL

Apa itu ruang personal??

Istilah Personal Space petama kali digunakan oleh Katz (1973) dan istilah ini bukan sesuatu yang unutk dalam istilah psiologi, Karena istilah ini juga dipakai dalam bidang keilmuan lain; ilmu biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf; dalam Prabowo, 1998). Menurut Sommer, ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implisit berdasarkan hasil – hasil penelitian, antara lain:
  •  Ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain.
  •  Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
  •  Pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
  •  Ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan,stress, dan bahkan perkelahian.
  •  Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak – jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain; berhadapan, saling membelakangi dan searah.

Bicara mengenai personal space, tentu berkaitan pula dengan jarak dalam interaksi sosial. Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spasial yang meliputi:

a. Jarak Intim.
Fase dekat sampai ke fase jauh sekitar 15 sampai 45 cm. Pada jarak ini kehadiran seseorang sangat jelas. Masing-masing pihak dapat mendengar, mencium dan merasakan napas yang lain. Manusia menggunakan fase dekat bila sedang bercumbu dan bergulat, untuk rnenenangkan dan melindungi. Dalam fasa dekat otot-otot dan kulit berkomunikasi, sedangkan verbalisasi aktual hanya sedikit saja perannya. Dalam fasa dekat ini bahkan suara bisikan mempunyai efek memperbesar jarak psikologis antara kedua orang yang terlibat.
Fase jauh memungkinkan untuk saling menyentuh dengan mengulurkan tangan. Jarak ini masih terlalu dekat sehingga dipandang tidak patut di muka umum. Karena perasaan ketidak-patutan dan ketidak-nyamanan (setidak-tidaknya bagi orang Amerika), mata jarang sekali saling menatap. Mata terpaku pada obyek lain yang berjarak cukup jauh.

b. Jarak Pribadi (Personal Distance)
Setiap manusia memiliki daerah yang disebut personal distance. Daerah ini melindungi dari sentuhan orang lain. Dalam fase dekat jarak pribadi ini (antara 45 sampai 75 cm), masih dapat saling menyentuh atau memegang tetapi hanya dengan mengulurkan tangan. Kemudian dapat melindungi orang-orang tertentu - misalnya, kekasih.
Dalam fasa jauh (dari 75 sampai 120 cm.), dua orang dapat saling menyentuh hanya jika mereka keduanya mengulurkan tangan. Fasa jauh ini menggambarkan sejauh mana secara fisik menjangkaukan tangan untuk meraih sesuatu. Jadi, fasa ini menentukan, dalam artian tertentu, batas kendali fisik atas orang lain. Pada jarak ini manusia masih dapat melihat banyak detil dari seseorang; rambut yang beruban, gigi yang kuning, pakaian yang kusut, dan sebagainya. Tetapi, kita tidak lagi dapat mendeteksi hangat tubuh. Kadang-kadang masih dapat mencium bau napas, tetapi pada jarak ini etiket mengharuskan untuk mengarahkan napas ke bagian netral sehingga tidak mengganggu lawan bicara (seperti yang sering kita lihat dalam Man televisi).
Bila ruang pribadi diganggu, manusia sering merasa tidak nyaman dan tegang. Bila orang berdiri terlalu dekat, pembicaraan dapat terganggu, tidak mantap, terguncang, dan terputus-putus. Kita mungkin sukar memelihara kontak mata dan mungkin sering menghindari tatapan langsung. Ketidak-nyamanan ini mungkin juga terungkap dalam bentuk gerakan tubuh yang berlebihan.

c. Jarak Sosial
Dalam jarak sosial umumnya manusia kehilangan detil visual yang diperoleh dalam jarak pribadi. Fase dekat (dari 120 sampai 210 cm) adalah jarak yang digunakan bila melakukan pertemuan bisnis dan interaksi pada pertemuan-pertemuan yang bersifat sosial.
Fase jauh (dari 210 sampai 360cm.) adalah jarak yang dipelihara Pada jarak ini, transaksi bisnis mempunyai nada yang lebih resmi. Di kantor pejabat-pejabat tinggi meja-meja ditempatkan sedemikian hingga si pejabat memastikan jarak ini bila sedang berunding dengan klien. Tidak seperti jarak intim, di mana kontak mata terasa janggal, fasa jauh dari jarak sosial membuat kontak mata sangat penting; jika tidak, komunikasi akan hilang. Suara pada umumnya lebih keras dari biasa pada jarak ini. Tetapi berteriak atau menaikkan suara, akan mempunyai efek mengurangi jarak sosial ini ke jarak pribadi.

d. Jarak Publik
Pada fase dekat dari jarak publik (dari 360 sampai 450 cm.) orang terlindung oleh jarak. Pada jarak ini seseorang dapat mengambil tindakan defensif bila terancam. Dalam bis kota atau kereta, misalnya mengambil jarak ini dari orang yang sedang mabuk.
Pada fase jauh (lebih clari 750 cm), manusia melihat orang-orang tidak sebagai individu yang terpisah, melainkan sebagai bagian dari suatu kesatuan yang lengkap. Kita secara otomatis mengambil jarak sekitar 9 meter dari seorang tokoh penting. Fase jauh ini merupakan jarak yang diambil seorang aktor untuk beraksi di panggung. Pada jarak ini, gerak-gerik maupun suara harus sedikit berlebihan agar tertangkap secara detil.



Pengaturan Ruang Personal dan Budaya

Culture atau budaya adalah sesuatu system karya, rasa, cipta yang melekat pada diri individu atau pun kelompok individu, dan hal ini terkait sekali dengan pengalaman. Dalam ilmu psikologi sendiri, banyak riset yang dilakukan untuk melihat bagaimana perbedaan budaya sebagai determinan dalam variabel-variabel psikologi, termasuk mengenai ruang personal ini. Salah satu penelitian adalah yang dilakukan oleh Hall (dalam Prabowo, 1998) mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadap populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersama-sama dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalam ruang yang sama. Masyarakat Jepang dengan budaya yang demikian mungkin sudah terbiasa dengan kurangnya ruang pribadi. Ditambahkan lagi dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Schmitt & Mitchel (dalam Atkinson, 1983); masyarakat Hongkong dan Tokyo dapat hidup dengan damai baik dalam kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi, karena mereka hidup dalam kebudayaan yang bernorma etiket tinggi. Pada masyarakat seperti ini kepadatan tinggi mungkin tidak akan menimbulkan perasaan tidak mampu mengendalikan lingkungan sosial yang ada.




Budaya Timur vs Barat

Selain itu budaya juga terkait dengan nilai dan norma yang dianut oleh masyarakatnya. Masyarakat timur-tengah dan jazirah arab yang memiliki budaya islam yang begitu kental; jarak dalam bersosial jelas sangat diatur. Bagaimana jarak interaksi pria dan wanita yang ‘bukan mukhrim’, perilaku bersentuhan dan budaya kontak lainnya, dianggap sesuatu yang tidak boleh (haram atau tabu). Berbeda dengan negara-negara barat, Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”. Maka Hall (dalam Prabowo, 1998) menyimpulkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, dengan rata-rata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya.


Sumber Referensi:
Prabowo, Hendro. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Jakarta. Gunadarma
Gifford, Robert. 1997. Environmental Psychology: Principles and Practices. Colville. Optimal Book

Atkinson, L Rita; Atkinson, C Richard & Hilgard, R Ernest. 1983. Pengantar Psikologi – Edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Selasa, 15 Maret 2011

KESESAKAN


KESESAKAN ≠ KEPADATAN
Kepadatan (density): sejumlah individu yang berada di suatu ruang/wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik.  Sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan tertentu.
Kesesakan (crowding): proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam satu pasangan atau kelompok kecil.
Altman (dalam Prabowo) berpendapat bahwa, antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Ketika kepadatan meningkat, maka dapat mengakibatkan kesesakan.
Proses kepadatan yang menimbulkan kesesakan dinilai secara subjektif oleh setiap individu (Baum & Paulus dalam Prabowo). Penilaian tersebut berdasarkan 4 faktor, yaitu: karakter setting fisik, karakter setting sosial, karakter setting personal, kemampuan beradaptasi. Jadi, suatu situasi atau keadaan sesak atau tidak tergantung bagaimana individu menilainya.

TEORI-TEORI KESESAKAN
Menurut Bell, Holahan, Stokols (dalam Prabowo), terdapat  3 Teori mengenai kesesakan (crowding) yang dibahas dalam psikologi lingkungan. Ketika kesesakan muncul, individu akan memunculkan Psychological Reactance  atau reaksi atas ketidaknyamanan yang dialaminya. Berikut ini adalah ketiga teori kesesakan:
a.       Teori Beban Stimulus
Inti dari teori ini adalah kesesakan muncul karena informasi yang diterima melebihi kapasitas kognitif individu, sehingga gagal memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Perilaku reaksi yang muncul adalah kebingungan dan kelelahan, dan individu biasanya melakukan adaptasi terhadap situasi ini dengan cara menarik diri atau intervensi.

b.      Teori Ekologi
Istilah manning atau setting dimana kita berada, mempengaruhi munculnya kesesakan. Ketika individu merasa setting yang membuat dirinya sesak ia akan beraksi dengan membuat batasan teritorial dan meningkatkan rasa kompetisinya.

c.       Teori Kendala Perilaku
Menurut teori ini, perilaku yang dilakukan oleh individu-individu menyebabkan situasi sesak, sehingga perlu mengendalikan atau mengurangi kebebasan perilaku. Sebagai reaksi dari situasi ini, biasanya individu akan melakukan pelanggaran, meninggalkan situasi atau mengembangkan relasi dengan orang lain.

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN KESESAKAN
Ada 3 faktor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu:
a.       Faktor Personal
Keadaan dari dalam diri individu, meliputi:
-          Locus Of Control, kesadaran individu bahwa keadaan dalam dirinyalah yang mempengaruhi  situasi yang terjadi disekitarnya. Dengan kesadaran ini, setiap individu yang memiliki locus of control akan menciptakan kondisi yang nyaman (tidak sesak) dalam lingkungan dimana dirinya berada.
-          Budaya, Pengalaman, dan Proses Adaptasi. Karena kesesakan adalah sesuatu yang ‘dirasa’ dan sangat subjektif, sehingga setiap orang dengan perbedaan budaya, berbeda pengalaman dan berbeda kemampuan adaptasinya, akan berbeda memaknai sebuah kondisi; sesak atau tidak.

b.      Faktor Sosial
Berkaitan dengan jumlah individu yang berinteraksi, siapa individu tersebut, bagaimana kualitas hubungan antar individu, dan informasi yang tersedia. Empat hal tersebut mempengaruhi bagaimana keadaan dirasakan sesak atau tidak.

c.       Faktor Fisik
Keadaan dimana individu berada juga mempengaruhi kesesakan. Bagaimana kondisi tempat, ukuran tempat, jenis tempat, suasana disekitar, situasi (kebisingan, suhu, karakteristik setting) dan lain sebagainya, dan sekali lagi semua ini bergantung pada penilaian individu dan berkaitan dengan ambient condition dan architectural feature.


PENGARUH KESESAKAN TERHADAP PERILAKU
Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu.
-          Secara Psikologis
Kesesakan dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, bad mood, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius (Prabowo)

-          Secara Fisiologis
Individu yang mengalami kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti  menigkatnya tekanan darah dan detak jantung meningkat, gejala-gejala psikosomatis dan penyakit-penyakit fisik yang serius (Worchel & Cooper dalam Prabowo). dalam kehidupan penduduk padat, kesesakan dapat berpengaruh terhadap sanitasi dan ketersedian fasilitas yang menunjang gaya hidup sehat masyarakat (Hasnida, 2002).

-          Secara Hubungan Sosial
Banyak penelitian yang dilakukan mengenai hal ini, perilaku sosial yang sering kali timbul karena sesak antara lain adalah; kenakalan remaja, menurunnya sikap goting royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya hubungan sosial (Holahan dalam Prabowo). Penelitian lain mengungkap bahwa kesesakan dalam rumah tangga mengakibatkan hubungan dengan tetangga yang kurang harmonis, serta kurangnya perhatian terhadap anak (Gove & Hughes dalam Prabowo).
Ditambahkan lagi oleh Ancok (dalam Prabowo), perasaan sesak di dalam rumah akan menimbulkan beberapa masalah diantaranya; menurunnya frekuensi hubungan seks, hubungan suami-istri yang memburuk dan juga buruknya cara pengasuhan anak. Pemnyebab terjadinya permasalahan diatas adalah karena kebutuhan ruangan yang sifatnya personal tidak terpenuhi. Hal ini menyebabkan banyak perilaku untuk memenuhi keinginan (goal directed behavior) tidak terselesaikan.



Kesesakan Juga Ada Positifnya…

Memang kecenderungan bahwa kondisi sesak menimbulkan ketidaknyamanan dan berdampak negatif bagi individu. Namun, ada hal baik dibalik fenomena kesesakan ini, Watson (dalam Prabowo) mengungkapkan bahwa kesesakan terkadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, katu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan ksenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat konser musik, pertandingan olah raga atau menghadiri reuni atau resepsi.


Opini…
Masyarakat Kota Suka Bersesak-sesak Ria…

Jika kita kondisi di wilayah JABODETABEK yang adalah daerah sentral dan jantung perekonomian Indonesia ini ternyata tidak hanya dipadati oleh gedung-gedung saja, tetapi juga memiliki taraf kepadatan manusia yang mencengangkan, sekitar 12.996 orang/km2 (Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi, 2011 . Ketika kita berkunjung kedaerah Jakarta Selatan; Fatmawati dan sekitarnya, atau di daerah Jakarta Pusat di bantaran sungai Ciliwung, sungguh pemandangan penduduk yang padat, sesak dan berjubel.

Mereka masyarakat bantaran sungai  yang nota bene memiliki ekonomi rendah, tinggal dalam rumah semi permanen berukuran alakadar, dan dengan ruangan sempit tersebut mereka harus berbagi teritorial dengan anggota keluarga yang biasanya lebih dari 4 orang, belum lagi perabot rumah. Begitulah kira-kira keadaan ribuan masyarakat lainnya, dengan nasib dan kondisi yang hampir serupa. Mereka yang ‘meminjam’ lahan Pem-Prov harus tinggal dan berbagi wilayah yang tak layak huni dan harus siap-siap berurusan dengan petugas pengusuran.

Kondisi di jalan raya pun sama crowded-nya. Volume kendaraan yang sudah tidak berimbang dengan panjang jalan, membuat kemacetan lalu lintas tak dapat dihindari. Niat untuk menghindari macet dengan menumpang kendaraan umum, kondisinya pun akan setali tiga uang. Penuh dan sesak. Ketika ingin mencari hiburan, untuk menonton konser musik atau pertandingan sepakbola, lagi-lagi Anda harus rela berbaur dengan lautan manusia.

Indonesia yang memiliki budaya kolektifis, nampaknya memang senang dengan kondisi bersesakan. Dengan semangat kebersamaan, masyarakat kita (terpaksa harus) tinggal dalam lingkungan padat penduduk, (terpaksa harus) bersesakan dalam kendaraan umum, (terpaksa harus) berjubel dalam antrian pembagian sembako, (terpaksa harus) bermacet-macet-ria di jalan raya, (terpaksa harus) berbaur dengan lautan manusia di tengah pertandingan sepak bola, dan nampaknya masyarakat kita enjoy-enjoy aja dengan kondisi ini. Kalo saya pribadi merasakan ruwet, mumet, dan empet dengan kondisi crowded di kota kita ini.


Sumber Referensi:
Prabowo, Hendro.Pengantar Psikologi Lingkungan. Jakarta: Gunadarma
Hasnida. 2002. Crowding (Kesesakan) dan Density (Kepadatan). Universitas Sumatra Utara (tidak diterbitkan).
Atkinson, L Rita, dkk. 1983. Pengantar Psikologi – Edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/statistik/kepadatan-penduduk

Selasa, 08 Maret 2011

KEPADATAN

PENGERTIAN KEPADATAN

Kepadatan adalah jumlah orang dalam suatu unit tempat.
Definisi padat adalah perasaan subjektif, apakah seseorang merasa terlalu padat atau tidak.

Faktor penentu lain: Kebiasaan seseorang akan tingkat kepadatan tertentu, suhu, tingkat kebisingan, latar belakang budaya, hubungan orang disekitar (apakah orang disekitarnya adalah kenalannya atau tidak).
Menurut Zlutnick & Atman, 1972
Kepadatan luar: Jumlah orang per Km2
Kepadatan dalam: Jumlah orang dalam suatu rumah

Kepadatan manusia berbanding lurus dengan:
- Suhu….Semakin banyak manusia dalam satu ruangan/tempat, makin tinggi suhu sekitar
- Kebisingan…Semakin banyak manusia dalam satu tempat, kecenderungan bising makin tinggi
Kepadatan manusia berbanding terbalik dengan:
- Privasi…Semakin tinggi kepadatan, jarak social makin rapat dan makin kurang pula perasaan privasi


Kepadatan Penduduk = Penyakit Sosial…??
Penuh sesaknya manusia dan kebisingan, selalu dihubungkan dengan kehidupan kota. Penelitian pernah dilakukan terhadap hewan. Pada hewan, kondisi yang penuh sesak ini diketahui dapat meningkatkan agresifitas, perilaku abnormal, gangguan fisik, pengabaian bayi, dan kematian yang tinggi (Fredman, 1975). Otopsi terhadap binatang yang telah mati yang pada waktu hidupnya dalam berada dalam kondisi yang padat, menunjukan tanda-tanda adanya stress yang berkepanjangan (Calhoun, 1962). Sejumlah telaah korelasi terdahulu tampaknya mendukung adanya kemungkinan bahwa kondisi yang padat mungkin akan menimbulkan dampak yang serupa pada manusia. Kajian tersebut membuktikan bahwa kepadatan penduduk (jumlah orang per unit tempat) berkorelasi positif dengan penyakit jiwa (Hollingstead & Redlich, 1958) dan rata-rata tindak kejahatan (Lottier, 1938).
Penelitian pada tahun 1970-an dilakukan di Honolulu, Chicago dan New York City telah mengungkapkan adanya korelasi positif antara kepadatan penduduk dan kenakalan remaja, penyakit jiwa, dan beberapa penyakit lain, korelasi tersebut cenderung lenyap bila variabel sosial ekonomi dikendalikan. Hasil ini menunjukan bahwa bukan kepadatan itu sendiri yang menyebabkan adanya ‘penyakit’ tersebut.

Percobaan di Laboratorium Dilakukan…
“Cowok suka sama yang padat….
Cewek suka yang longgar…”

Para pakar psikologi mencoba mencari hubungan sebab-akibat reaksi kepadatan dan kesulitan. Prosedur: menempatkan para subjek yang telah dipilih secara acak dalam situasi yang padat atau tidak padat dan kemudian mengukur pelaksanaan kegiatan, kebangkitan fisiologis, kesulitan terhadap situasi tersebut, pengambilan keputusan, agresifitas, keramahan, dan sebagainya. Laki-laki lebih toleran terhadap situasi padat dan tidak kesulitan dengan aktivitas yang harus dilakukannya ditengah kepadatan. sedangkan pada wanita, mereka lebih sulit menghadapi situasi padat.

Kepadatan Juga Bisa Memunculkan Kebersamaan…
Percobaan Semi-Natural juga dilakukan. Settingnya adalah di asrama mahasiswa. Peneliti ingin melihat bagaimana situasi kehidupan social dari anak-anak yang tinggal di asrama luas dengan lorong yang panjang, dan bagaimana dengan anak-anak yang tingal di asrama yang sempit dan berlorong pendek. Ketika diamati, mahasiswa yang tinggal dalam asrama yang luas mengeluhkan longgarnya interaksi social yang terjadi, dan mereka menjadi lebih menarik diri dan kurang suka berinteraksi. Sedangkan mahasiswa yang tinggal di asrama yang sempit lebih merasakan adanya interaksi sosial yang intens dan mereka menjadi lebih koperatif dan kompetitif.

Memanage Kepadatan…
Ketika situasi padat tidak dapat di hindari, seperti ketika dalam lift, kendaraan umum, di kelas, rumah susun, di wilayah kumuh dan lainnya. Kita bisa mengatur agar mengurangi efek negatif dari kepadatan.
Caranya adalah:
  1. Stabilkan suhu ditengah kepadatan, manfaatkan teknologi pendingin ruangan.
  2. Kurangi keberadaan barang-barang atau perabot
  3. Mengurangi aktifitas. Karena aktifitas tubuh/bergerak dapat menimbulkan efek panas tubuh meningkat dan kebisingan, sehingga keadaan ruangan/tempat anda berada pun semakin gerah dan berisik.
  4. Desain ruangan dengan kesan luas dan lembut-tenang. Kita bisa mensiasati dengan memasang cermin besar, atau warna cat yang bisa menimbulkan efek luas dan lembut.
  5. Saling kenal dengan orang sekitar kita. Ketika saling nyaman antar individu yang ada di dalam ruangan/tempat yang padat tersebut, jarak sosial akan berkurang dan ada perasaan saling aman, nyaman, akrab dan saling percaya.

Sumber Referensi:
Baron, A Robert & Byrne, Donn. 2003. Psikologi Sosial –Edisi 10. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Atkinson, L Rita, dkk. 1983. Pengantar Psikologi – Edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Helmi, F Avin. Buletin Psikologi Tahun VII, No.2 Desember 1999.

Selasa, 01 Maret 2011

Resto Junk-Food Penjual Suasana…


Tentu anda sudah tidak asing dengan logo di atas… Yup, itu adalah logo restoran francise asal negri Paman Sam yang begitu ternama. Restoran cepat saji ini memang sudah membuka cabang hampir diseluruh penjuru dunia…tercatat sudah ada 25.663 gerai McD  tersebar di Amerika, Eropa, Afrika, Asia, sampai Australia (Nation Master, 2004) sekarang sudah mendekati 31.000 cabang di seluruh dunia (Nick, 2006)…. Di Indonesia sendiri resto ini membuka cabang hingga?????.

Jika ditanya….Apa Core Bussines dari McD? Jawabannya adalah Ice Cream dan Burger! Yang khas dari Restoran saji ini memang Mc Flury Ice Cream-nya, ditambah beberapa jenis burger andalannya. Untuk sajian lainnya, seperti Kentang goreng, Friedchicken dan Soup-nya; itu hanya jadi sajian pelengkap daftar menu saja, bukan menu andalan dari McD. Karena fakta itulah, Saya dan rekan-rekan memiliki penilaian bahwa: “McD mendapat untung hanya dari menjual Es Krim dan menyediakan kursi, meja dan suasana. Gak Lebih!”

Secara umum arsitektur McD memang hampir mirip dengan restoran fast-food lain; Jendela kaca yang besar menerawang, diisi kursi dan meja makan yang simple berjajar, juga cashier yang melekat dengan dapur semi terbuka.  Tapi tentunya setiap nama pastinya punya trademark masing-masing…. Begitu pula dengan Mc Donald. Resto ini memang didesain agak berbeda; sangat modern, nyentrik dan menarik….Dengan dominasi warna cerah, sesuai dengan mascot mereka yaitu Mr. Ronald, si badut lucu berambut dan berjenggot merah dengan baju orange strip merah.
Kenapa warna dominannya merah, orange?

DARI SISI PSIKOLOGI LIGKUNGAN ...TEORI AMBIENT CONDITION….
Kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku (Raharjani & Ancok, 1987) terisir dari kebisingan, temperature, kualitas udara, pencahayaan, dan warna.
Nah, mengenai masalah McD ini kita akan menyoroti dari segi warna…kenapa harus dominan merah dan orange??
Warna ternyata juga membawa efek psikologis pada yang melihatnya. Warna biru membawa efek tenang, damai dan lembut; warna hijau sangat sejuk; kuning bersifat hangat dan menstimulasi; warna ungu yang agresif dan bersifat dingin. Nah, McD dengan warna merah, kuning, orange nya yang nge-jreng, mempunyai sifat hangat dan warna merah khususnya, memiliki efek menggangu, panas, dan kasar.

Jarang sekali restoran menggunakan warna cerah mentereng begini…. Karena seharusnya restoran membuat efek nyaman, tenang, dan sejuk….agar pelanggan betah berlama-lama sambil menikmati hidangan mereka….Dan yang cocok untuk background pada rumah makan adalah warna-warna calm atau soft.

Sepertinya tujuan dari konseptor McD adalah:
1.       Untuk menarik perhatian
Strategi promosi marketing yang baik mereka terapkan; dengan warna nge-jreng dan nyentrik juga dengan lambang huruf ‘M’ berwarna kuning yang terpampang besar.
2.       Untuk menimbulkan kesan ceria
Sesuai mottonya: Happy Meal, dan si Mascot badutnya yang identik dengan keceriaan dan kegembiraan. Dan hal ini pasti menjadi daya tarik tersendiri untuk konsumen anak-anak.
3.       Prinsip ‘Fast-Food’
Makanan ‘cepat saji’ dan Mc-D nampaknya meminta pelanggannya untuk menikmati makanannya dengan cepat pula dan jangan sampai berlama-lama. Strateginya, dengan membuat efek ‘gak betah’ dengan warna merah dan kuningnya.
Mc-D tidak menyediakan tempat besar, kursi yang banyak…jadi diharapkan pelanggan datang, selesai makan dan segera pergi….tidak ada alasan untuk menikmati suasana.

Dari kajian diatas, satu hal yang saya salut dengan bisnis yang adalah raja francise dunia ini….Mereka mengkonsep sesuatu yang kreatif dan unik dibungkus dalam strategi marketing yang patut diacungi 2 jempol… Mereka tidak terlalu handal dalam makanan, tetapi mereka bisa eksist.


Sumber Referensi:
http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab3-...
http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.slashfood.com/2006/04/10/starbucks-may-soon-outnumber...
http://...bursafranchise.com/mcdonalds-indonesia.htm
http://....wikipedia.org/wiki/McDonald%27s_products_%28international%29